Teringat kepuluhan tahun yang lalu, kakek dari ibuku di Kuningan, nama beliau KH Shobaruddin, beliau meninggal tahun 1992 waktu itu saya masih kuliah. Kakekku adalah sosok yang teguh, lucu begitu berwibawa dihadapan cucu-cucunya, termasuk saya. Bisa dihitung jari, berapa kali saya secara khusus mengobrol.
Masa yang paling terkenang adalah ketika saya masih berumur 10 tahunan, kakekku menggendongku di punggungnya menuju sawah garapan beliau.
Asyik, inilah saat-saat kecintaanku terhadap tanah kelahiran ditanamkan. Betapa bangganya aku dengan kenyataan bahwa aku lehir dan sempat besar disana sebelum hijrah ke Bandung.
Kakekku asli lulusan pesantren, di kamar dan di ‘para’ banyak ditemukan kitab-kitab dari yang tipis sampai kitab besar-besar, nampaknya kakekku seorang yang doyan baca. Beliau berharap kalau anak cucunya ada yang meneruskan menjadi kyai, makanya beliau sungguh bangga dengan bapakku yang lulusan pesantren Gunung Puyuh itu, sebuah pesantren legendaris binaan KH Ahmad Sanusi PUI.
Alhamdulillah selalu saja ada anak keturunannnya yang berminat nyantri, sehingga keluarga besarnya dikenal sebagai keluarga santri.
Terkenang saat-saat menjelang zuhur mengantar nenekku menghantarkan makan siang untuk kakekku dan pekerja lain ke saung di tengah sawah. Saya ingat salah satunya yang punya pemandangan bagus yaitu daerah Cinangsi. Waah sungguh kenangan yang menyejukkan bersama kakek dan nenekku almarhum. Ya Allah…masukkan mereka dalam kebahagiannya surgamu..se hobbi mereka pada kebun-kebun yang rindang.